Halaman

Sabtu, 17 Desember 2011

Bagaimana Menghindari Dalih Kecerdasan Sebagai Penghambat Kesuksesan & Pengembangan Diri

The Magic of Thinking
Big bahasa Indonesia
Kita mungkin sering mendengar dalih kecerdasan dalam keseharian kita. Contohnya antara lain adalah: "saya kurang cerdas", "tentu saja dia bisa, dia lebih cerdas daripada saya", dsb.  Atau bahkan kita sendiri adalah pengidap "penyakit' ini.

Hal ini sebenarnya menunjukkan kesalahan kita dalam memahami kecerdasan. Ya, ada dua kesalahan dalam dalih kecerdasan ini, yaitu:
1. Kita merendahkan & meremehkan kekuatan otak kita sendiri, dan
2. Kita terlalu menganggap hebat kekuatan otak orang lain.

Karena kedua kesalahan ini, banyak yang sering meremehkan nilai diri sendiri. Orang-orang yang menderita penyakit ini terlalu khawatir, sehingga gagal untuk suatu tantangan tersebut karena merasa diperlukan otak yang cerdas untuk memenuhi penyelesaian tantangan tersebut. Akan tetapi datanglah orang yang tidak perduli mengenai kecerdasan, dan ia mendapatkan kesempatan tersebut.

Yang penting sebenarnya bukanlah berapa hebat kecerdasan kita, tetapi bagaimana kita menggunakan apa yang benar-benar kita miliki. Pikiran yang memandu kecerdasan kita jauh lebih penting daripada kuantitas kekuatan otak kita. Atau dikenal sebagai "Emotional Quotient" oleh David Goleman.





Pada suatu saat seorang ilmuan fisika terkemuka pada masanya, Dr. Edward Teller, ditanya "Haruskah anak Anda menjadi seorang ilmuan?Apa yang diperlukan anak untuk menjadi ilmuan?". Beliau menjawab; "anak tidak memerlukan otak yang berpikir cepat untuk menjadi ilmuan, juga tidak memerlukan ingatan yang menakjubkan dan juga tidak perlu mendapatkan nilai yang sangat tinggi di sekolah. Satu-satunya yang penting bagi anak tersebut adalah mempunyai tingkat yang tinggi akan ilmu pengetahuan".

Ya, minat/antusiasme lah yang sangat penting, bahkan dalam ilmu pengetahuan. Karena dengan minat/antusiasme lah kita dapat mengembangkan cara-cara agar diri kita menjadi lebih baik.

David J. Schwartz, Ph.D.
Menurut Dr. David J. Schwartz dengan sikap yang positif, optimis dan kooperatif, seseorang dengan IQ 100 akan berpenghasilan lebih besar, mendapatkan respek lebih besar dan mencapai keberhasilan lebih besar dibandingkan orang negatif, pesimistis dan tidak kooperatif dengan IQ 120.

Ketekunan adalah 95% dari kemampuan.

Dr. Schwartz pun menceritakan pengalaman beliau dalam kasus seperti ini. Beliau bertemu seorang teman kuliah yang telah sepuluh tahun tidak bertemu. Kita anggap saja nama teman beliau adalah Billy. Nah Billy adalah seorang  mahasiswa cerdas dan lulus dengan gelar "Summa Cumlaude". Tujuannya ketika terakhir bertemu dengan Dr. Schwartz adalah mendirikan perusahaan sendiri.

Dr. Schwartz pun bertanya perusahaan apa yang telah Billy dirikan.

Lalu Billy pun mengakui ia tidak jadi mendirikan perusahaan pribadinya. Sebab ia tidak jadi mendirikan perusahaan adalah ia justru sangat memahami mengapa suatu perusahaan dapat menjadi gagal. Bahkan Billy merasa iri dengan teman-teman sekolahnya yang tidak terlalu pandai dan bahkan sebagian tidak kuliah di perguruan tinggi, sekarang sudah mapan dengan perusahaan pribadinya sendiri. Dan berandai-andai sebelumnya memiliki pelatihan yang lebih baik dalam hal sebab-sebab perusahaan dapat berhasil, maka ia akan berhasil.

Pikiran yang memandu kecerdasan Billy jauh lebih penting daripada besarnya kecerdasan Billy itu sendiri.

Lebih jauh Dr. Schwartz menceritakan pengalamannya. Beliau mengenal dekat seseorang yang dapat dikatakan jenius, mempunyai kcerdasan abstrak yang tinggi. Walaupun ia adalah orang yang sangat cerdas menurut  Dr. Schwartz ia adalah orang yang sangat gagal menurut beliau. Ia memiliki pekerjaan kelas menengah (ia takuat akan tanggungjawab). Ia tidak pernah menikah (ia dibuat dibuat takut oleh data statistik tingginya perceraian). Ia hanya mempunyai sedikit teman (orang bosan dengannya). Ia tidak pernah berinvestasi (ia takut kehilangan uangnya). Orang ini menurut Dr. Schwartz menggunakan otaknya yang hebat untuk membuktikan mengapa segalanya tidak akan berhasil, bukan mengarahkan kekuatan mentalnya dalam mencari cara-cara untuk berhasil.

Karena cara berpikir negatif yang memandu otak yang hebat, maka ia sedikit sekali memberikan sumbangan dan tidak menghasilkan apapun. Dengan sikap berubah, ia sebenarnya dapat mengerjakan hal-hal besar. Ia mempunyai otak yang cerdas yang dapat menjadi dasar bagi keberhasilan yang luarbiasa, tetapi sayangnya, ia tidak mempunyai kekuatan pikiran.

Ingat, cara berpikir yang memandu kecerdasan kita jauh lebih penting daripada berapa banyak kecerdasan yang kita miliki. Bahkan gelar Ph.D. pun tidak dapat mengalahkan prinsip sukses dasar ini!

Teman Dr. Schwartz yang lain adalah Phil. Ia adalah seorang pejabat senior di sebuah perusahaan iklan, sebagai direktur penelitian pemasaran untuk biro tersebut, ia melakukan pekerjaan kelas satu.

Namun Phil, menurut Dr. Schwartz bukanlah seorang yang cerdas. Ia hampir tidak mengetahui teknik penelitian. Ia bukan seorang lulusan perguruan tinggi, walaupun orang-orang yang bekerja kepadanya semua memiliki gelar. Lalu bagaimana ia dapat memiliki jabatan tersebut? Dengan penghasilan yang besar? Tanpa memiliki keahlian penelitian dan ia tidak berpura-pura tahu tentang penelitian?

Jawabannya adalah Phil ahli dalam hubungan manusia. Phil 100% memiliki sikap positif. Ia dapat mengilhami orang lain ketika mereka kurang bersemangat. Ia antusias. Ia membangkitkan antusiasme, ia mengerti manusia dan karena ia dapat benar-benar melihat apa yang membuat mereka bergerak, ia menyukai mereka.

Bukan otak Phil, melainkan bagaimana ia memanajemeni otak-otak itu, yang membuat ia tiga kali lebih berharga bagi perusahaannya dibandingkan orang yang IQ-nya lebih tinggi.

Berpikir negatif, menjelaskan mengapa pintu menuju posisi eksekuti puncak tertutup bagi banyak eksekutif junior yang masih muda. Sikap murung, negatif, pesimistis inilah, bukan yang kecerdasan yang kurang memadai, yang menahan ribuan eksekutif muda. Seperti yang dikemukakan oleh seorang eksekutif kepada Dr. Schwartz;  "jarang sekali kami melewatkan promosi untuk eksekutif muda karena bersangkutan kurang cerdas. Hampir selalu sikapnya lah yang membuatnya gagal.

Dalam penelitiannya pun, Dr. Schwartz menemukan bahwa perusahaan yang memiliki produktifitas yang tinggi adalah memiliki pegawai-pegawai yang memiliki sikap khawatir yang rendah, lebih antusias, dan memiliki kesukaan tulus akan orang lain.

Kita tidak dapat berbuat banyak mengubah jumlah kemampuan asli, tetapi kita pasti dapat mengubah cara kita menggunakan apa yang kita miliki.

Pengetahuan adalah kekuatan, jika kita menggunakannya secara konstruktif.

Kita Sering mendengar bahwa pengetahuan adalah kekuatan. Hal ini bernilai separuh kebenaran, karena pengetahuan adalah kekuatan yang masih dalam bentuk potensial. Pengetahuan baru menjadi kekuatan jika diterapkan dan jika diterapkan dengan konstruktif.

Ada cerita, bahwa suatu saat, Einstein pernah ditanya ada berapa kaki (feet) dalam 1 Mil. Einstein menjawab; "saya tidak tahu. Mengapa saya harus mengisi otak saya dengan fakta-fakta yang dapat saya temukan dalam waktu dua menit dalam buku acuan standar?".

Einstein mengajarkan kita suatu pelajaran berharga. Ia merasa lebih penting menggunakan otak kita untuk berpikir daripada menggunakannya sebagai gudang fakta.

Suatu saat Henry Ford disebutkan oleh Chicago Tribune sebagai ignoramus (orang yang tidak tahu apa-apa), dan Henry Ford sebagai orang yang terhormat mengatakan; "buktikan".

Tribune mengajukan banyak pertanyaan umum, dan Henry Ford tidak dapat menjawab kebanyakan pertanyaan, karena ia memang kurang pendidikan formal.

Akhirnya Henry Ford menjadi jengkel dan berkata, "saya tidak tahu jawaban pertanyaan-pertanyaan itu, tetapi dalam waktu lima menit saya akan mendapatkan orang yang dapat menjawabnya".

Henry Ford tidak pernah tertarik untuk memenuhi pikirannya dengan informasi. Ia tahu bahwa kemampuan untuk mengetahui cara mendapatkan informasi lebih penting daripada menggunakan pikiran sebagai garasi fakta.

Dalam suatu kesempatan, Dr. Schwartz berbincang dengan temannya yang adalah seorang direktur perusahaan besar. Pada saat itu TV sedang menyiarkan salah satu acara kuis paling populer. Orang yang ditanyai sudah tampil beberapa minggu. Ia dapat menjawab segala macam persoalan, banyak yang nampaknya tidak masuk akal.

Teman Dr. Schwartz bertanya kepada Dr. Schwartz; "berapa menurut Anda saya akan membayar orang tersebut seandainya ia bekerja untuk saya?".

"Berapa?" tanya Dr. Schwartz.

"Tidak lebih dari 100 Poundsterling, bukan perminggu, bukan perbulan, melainkan seumur hidup. Saya sudah menilainya. "Ahli" itu tidak dapat berpikir. Ia hanya dapat menghafal. Ia hanya ensiklopedia berjalan, dan saya kira dengan 100 Poundsterling saya dapat membeli satu set ensiklopedia yang bagus".

"Yang saya inginkan di sekeliling saya adalah orang -orang yang dapat memecahkan masalah, yang dapat memikirkan gagasan. Orang-orang yang dapat bermimpi dan kemudian mengembangkan mimpi tersebut dalam aplikasi praktis dan manusia gagasan dapat menghasilkan uang. Manusia fakta tidak dapat".

Berikut ini adalah tiga cara menyembuhkan penyakit dalih kecerdasan menurut Dr. Schwartz:

  1. Jangan pernah merendahkan kecerdasan kita sendiri dan menganggap terlalu tinggi kecerdasan orang lain. Berkonsentrasilah pada apa yang kita miliki. Temukan bakat unggul kita. Ingat berapa banyak kcerdasan yang kita miliki yang penting, melainkan bagaimana kita menggunakan otak kita. Manajemenilah otak kita masing-masing daripada khawatir mengenai IQ kita.
  2. Ingatkan diri kita beberapa kali sehari; "sikap saya lebih penting daripada kecerdasan saya". Praktikkan di mana saja, di pasar, di kampus, tempat kerja, di rumah dsb.  Lihat alasan mengapa kiat dapat melakukannya, bukan melihat mengapa kita tidak dapat melakukannya. Kembangkan sikap "saya menang". Manfaatkan kecerdasan kita untuk pemakaian positif yang kreatif. Gunakan otak kita untuk mencari cara untuk menang, bukan untuk membuktikan bahwa kita akan kalah.
  3. Ingat bahwa kemampuan berpikir jauh lebih bernilai daripada kemampuan mengingat fakta. Gunakan pikiran kita untuk menciptakan dan mengembangkan gagasan, untuk mencari cara-cara baru dan lebih baik untuk mengerjakan segala sesuatunya. Tanya diri kita, "apakah saya menggunakan kemampuan mental saya untuk membuat sejarah atau apakah saya menggunakannya hanya untuk merekam sejarah yang dibuat oleh orang lain".


Demikian adalah sebagian dari materi yang terdapat dalam buku David J. Schwartz, Ph.D., "The Magic of Thinking Big" yang dapat saya bagikan untuk kesempatan kali ini. Semoga materi lain dapat menyusul. :)

Baca juga: Setiap Usia itu Karunia untuk Sukses

2 komentar:

eMingko Blog mengatakan...

setuju bgt... ketekunan dan kerja keras dpt mmbuat yg tdk mungkin jdi mungkin :)
jgn lpa mmpir ke eMingko Blog

terapi qolbu mengatakan...

Buku itu terlalu sering saya baca...