Senang hati rasanya melihat
pemandangan di Kalimantan yang beragam budayanya dan dengan filsafat “Huma
Betang” terbuka menerima siapa saja yang berniat baik.
Banyak perantau dari luar yang
datang, menetap dan mencari rezeki di Kalimantan, mendapatkan kehidupannya yang
lebih baik di sini daripada di daerah asalnya masing-masing.
Saudara-saudari pendatang kita
ini, menyatakan mereka dapat lebih layak hidup di Kalimantan; di mana di daerah
asal mereka persaingan sudah sangat ketat, kesempatan pun sudah menjadi sempit
dan di sebagian daerah populasi sudah terlalu banyak.
Akan tetapi sayang sekali hal
ini seringkali menjadi sedikit gesekan, tetapi tidak pernah menjadi keributan
yang luas dan massif sepengetahuan saya pribadi.
Bentuk gesekan ini adalah
pendatang dianggap mengambil “rezeki” kaum pribumi Kalimantan, masalah tanah,
aset, pekerjaan dan lainnya.
Di era keterbukaan ini, saya
sebagai warga Dayak Pribumi, memiliki pemikiran bahwa arus masuk dan keluar
sudah jelas tidak bisa ditolak. Karena akses dan arus keluar-masuk manusia,
barang dan infromasi adalah salah satu bentuk pendukung kemajuan suatu daerah,
tidak terkecuali Kalimantan. Begitupun sebaliknya, tidak sedikit warga Dayak
yang bekerja & kuliah keluar daerah Kalimantan, bahkan luar negeri.
Termasuk yang kadang dianggap
persoalan adalah saat penerimaan ASN/POLRI/TNI, seringkali berdatangan warga
dari luar mendaftarkan dirinya dan pendatang ini lah yang dinyatakan lulus. Termasuk
dalam hal membangun UMKM dan usaha lainnya.
Beberapa pihak menyatakan
menyayangkan kelulusan tersebut yang cukup didominasi warga dari luar daerah. Hal
ini bisa difahami, karena masih banyak warga Kalimantan yang belum memiliki
pekerjaan yang cukup layak di “rumahnya sendiri”. Ini adalah bentuk kepedulian,
tentu tidak salah sikap ini.
Atau dalam beberapa kesempatan
seringkali di masa lalu dan masih ada terjadi di masa sekarang, mencari
pekerjaan di Kalimantan hanyalah mencari “status” PNS-ASN/TNI/POLRI, kemudian
setelah beberapa tahun mengajukan pindah tugas ke daerah asalnya kembali dengan
berbagai alasan. Hal ini tentu sangat disayangkan, karena berdampak pada
kekurangan tenaga pada pemerintahan dst.
Akan tetapi pada satu sisi,
kita kurang fair pula membatasi bahwa
yang boleh mendaftar dan lulus hanya lah warga asli dan/atau yang lahir di
Kalimantan saja. Karena bukankah kita selalu mendengung-dengungkan “Bhineka
Tunggal Ika” dan “ Huma Betang”? yang berarti semua berhak dan memiliki hak dan
kewajiban yang sama selama terpenuhi syarat dan ketentuan yang ditentukan bukan?
Menurut hemat saya, di satu
sisi sifat ini adalah menutup diri dari standar persaingan nasional bahkan
internasional, apabila kita hanya membatasi persaingan hanya pada internal
pribumi saja. Yang artinya kita membatasi dan merendahkan diri sendiri dengan
perilaku ini, sehingga kita sendiri sulit berkembang sebagai suatu komunitas
dan sebagai suatu daerah.
Solusi terbaik adalah kita
sebagai suatu komunitas, organisasi dan pemerintahan daerah dapat memfasilitasi
sekolah, pendidikan, pelatihan keterampilan, dan pemberdayaan yang layak, kompetitif
dan update. Sehingga dapat
menghasilkan produk-produk lokal yang terampil, mampu bersaing dan update. Yang pada hasil akhirnya adalah
membangun dan membentuk masyarakat Kalimantan yang update dan kompetitif serta memiliki dampak langsung pada
pembangunan daerah Kalimantan.
Persaingan yang sehat harus
dibangun, bukan justru dimatikan. Persaingan yang sehat diharapkan dapat mempercepat
dan meningkatkan pembangunan non-fisik dan pembangunan fisik.
Tapi di satu sisi, ada pula
kebijakan daerah yang mengatur tentang kewajiban penyerapan 50%-70% tenaga
kerja asli warga daerah sekitar beroperasinya suatu perusahaan swasta tersebut.
Kebijakan seperti ini sangat wajar bagi sektor privat, karena sektor privat di
antara lainnya bersifat menyerap tenaga kerja dan pemasukan bagi daerah dalam
pandangan kepemerintahan. Tentu beda lagi pandangannya bagi internal
masing-masing perusahaan internal.
Sedangkan bagi pemerintahan
(ASN/TNI/POLRI), ini rasanya kurang tepat. Karena posisi pegawai pemerintahan
tidak sebatas penyerapan tenaga kerja, tetapi juga menjadi fungsi kinerja bagi
pemerintahan. Yang memerlukan individu-individu yang terampil, kompetitif, update dan fleksibel.
Sehingga persaingan yang sehat
dan terbuka antara pribumi-pendatang haruslah menjadi suatu keharusan bagi
daerah dan masyarakatnya agar tercapai kemajuan yang diharapkan.
Sehingga solusi terbaik adalah
kita sebagai suatu komunitas, organisasi dan pemerintahan daerah dapat memfasilitasi
sekolah, pendidikan, pelatihan keterampilan, dan pemberdayaan yang layak, kompetitif
dan update. Sehingga dapat
menghasilkan individu-individu yang terampil, mampu bersaing dan update. Yang pada hasil akhirnya adalah
membangun dan membentuk masyarakat Kalimantan yang update dan kompetitif serta memiliki dampak langsung pada
pembangunan daerah Kalimantan.
Pembangunan softskill dan hardskill seperti ini menjadi tanggungjawab bersama dan juga
per-orangan individu, karena setiap orang harus menyadari kekurangannya
masing-masing, sehingga dapat mengejar ketertinggalan dan kekurangannya
masing-masing. Begitupun bagi sesama harus saling mengupayakan, membantu,
mengingatkan dan membantu agar saling mengangkat. Sedangkat otoritas pemerintahan
dan/atau komunitas membantu melalui kebijakan, memfasilitasi, sosialisasi, pendidikan,
dan banyak lainnya yang masih banyak bisa dilakukan sebagai suatu otoritas.
Dengan upaya seperti ini; persaingan
yang sehat dan kompetitif tidak akan menjadi momok menakutkan lagi. Karena masyarakat
yang sudah dididik dan diberdayakan dengan baik akan sangat mampu bersaing
dengan siapapun yang menjadi saingan berkompetisinya.
Dari sini bisa kita tarik
hikmah bahwa persaingan yang sehat dan terbuka sangat diperlukan dalam
membentuk masyrakat yang maju, termasuk masyarakat Kalimantan. Sekarang pilihan
ada di tangan kita masing-masing untuk memberdayakan diri mengejar
ketertinggalan masing-masing dan ikut memajukan daerah atau justru sebaliknya
untuk berpangkutangan tanpa terlibat ikut membangun daerah masing-masing.
Mari kita ikut aktif bersama
membangun ”Huma Betang” dan “Bhineka Tunggal Ika” dengan cara dan kemampuan
masing-masing tanpa saling membeda-bedakan latar belakang demi kemajuan Kalimantan
Rumah Kita Bersama.
Tabe
Palangka Raya, 16 Desember 2016
Jeri Ripaldon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar